Raja Raja Eropa Abad Pertengahan

Raja Raja Eropa Abad Pertengahan

Masyarakat Eropa Barat

Di Eropa Barat, sejumlah keluarga bangsawan lama Romawi mengalami kepunahan, sementara keluarga-keluarga bangsawan Romawi yang tersisa memilih untuk mendalami agama ketimbang menceburi urusan-urusan duniawi. Penghargaan yang tinggi terhadap karya tulis ilmiah dan pendidikan Romawi nyaris lenyap, dan meskipun baca tulis masih dianggap penting, kemampuan ini lebih dianggap sebagai suatu keterampilan praktis daripada sebagai lambang status mulia. Pada abad ke-4, Hieronimus (wafat 420) bermimpi ditegur Allah karena lebih sering membaca karya-karya tulis Sisero daripada Alkitab. Pada abad ke-6, Gregorius dari Tours juga bermimpi ditegur Allah, tetapi bukan karena lebih sering membaca karya-karya tulis Sisero, melainkan karena mempelajari stenografi.[63] Pada penghujung abad ke-6, sarana utama dalam pengajaran agama di Gereja adalah musik dan seni rupa, bukan lagi buku.[64] Sebagian besar karya-karya tulis ilmiah yang dihasilkan kala itu hanya berupa salinan dari karya-karya tulis ilmiah peninggalan Abad Kuno, tetapi ada pula sejumlah karya tulis baru yang dihasilkan bersama sejumlah gubahan sastra lisan yang kini tidak lagi diketahui. Karya-karya tulis Sidonius Apolinaris (wafat 489), Kasiodorus (wafat sekitar 585), dan Boëtius (wafat sekitar 525) adalah karya-karya tulis khas dari masa ini.[65]

Kehidupan rakyat jelata juga mengalami perubahan, manakala budaya kaum bangsawan lebih berpusat pada penyelenggaraan pesta-pesta pora di balai-balai perjamuan daripada berkarya di bidang sastra. Busana kaum bangsawan disarati hiasan emas permata. Para penguasa dan raja-raja mendanai rombongan-rombongan pengiring yang terdiri atas para jawara yang menjadi tulang punggung pasukan-pasukan angkatan bersenjata.[H] Ikatan kekerabatan di kalangan bangsawan sangat dijunjung tinggi, demikian pula ikatan kesetiaan, keberanian, dan kehormatan. Ikatan-ikatan ini menjadi penyebab sengketa berlarut-larut yang sering kali timbul di kalangan bangsawan, misalnya sengketa berlarut-larut di Galia pada zaman wangsa Meroving sebagaimana diriwayatkan oleh Gregorius dari Tours. Sebagian besar sengketa berlarut-larut ini diakhiri dalam waktu singkat dengan pembayaran semacam uang ganti rugi.[68] Peran utama kaum perempuan di kalangan bangsawan adalah sebagai istri dan ibu dari kaum lelaki. Peranan perempuan sebagai ibu seorang penguasa sangat dihargai di Galia pada zaman wangsa Meroving. Dalam masyarakat Saksen-Inggris, langkanya penguasa kanak-kanak menyebabkan peran perempuan sebagai ibu suri menjadi kurang menonjol, tetapi kekurangan ini diimbangi oleh peran para abdis biara yang kian lama kian menonjol. Tampaknya di Italia sajalah kaum perempuan senantiasa dianggap bernaung di bawah perlindungan dan kendali seorang kerabat laki-laki.[69]

Dibanding kaum bangsawan, hal-ihwal kehidupan rakyat jelata lebih jarang diabadikan dalam karya-karya tulis. Sebagian besar informasi mengenai rakyat jelata yang sintas sampai ke tangan para sejarawan berasal dari bidang ilmu arkeologi; segelintir peninggalan tertulis yang menggambarkan peri kehidupan rakyat jelata masih berasal dari kurun waktu sebelum abad ke-9. Sebagian besar penggambaran mengenai masyarakat kelas bawah berasal dari kitab-kitab hukum atau karya-karya tulis para pujangga dari kalangan masyarakat kelas atas.[70] Pola-pola kepemilikan tanah di Eropa Barat tidaklah seragam; di beberapa kawasan, persil-persil tanah milik letaknya sangat terserak dan saling berjauhan, sementara di kawasan-kawasan lain, sudah menjadi kaidah bahwa persil-persil tanah milik terletak berdempetan satu sama lain. Perbedaan-perbedaan ini memunculkan bermacam-macam masyarakat jelata; beberapa di antara masyarakat-masyarakat jelata ini tunduk di bawah kekuasaan tuan-tuan tanah bangsawan, sementara masyarakat-masyarakat jelata lainnya justru sangat mandiri.[71] Cara menempati tanah juga berbeda-beda. Beberapa rakyat jelata menempati permukiman-permukiman dengan jumlah warga mencapai 700 jiwa, sementara yang lain hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas beberapa keluarga; selain itu masih ada lagi yang hidup sendiri-sendiri di lahan garapan masing-masing di pinggiran desa-desa. Ada pula daerah-daerah yang memiliki pola campuran antara dua atau lebih dari tatanan-tatanan tersebut.[72] Tidak seperti pada penghujung zaman Romawi, tidak ada perbedaan yang tajam antara status hukum dari rakyat jelata yang merdeka dan kaum bangsawan, malah sebuah keluarga rakyat jelata yang merdeka mungkin saja naik status menjadi bangsawan setelah melewati beberapa generasi dengan cara mengabdi sebagai prajurit pada seorang penguasa besar.[73]

Budaya dan kehidupan perkotaan Romawi benar-benar berubah pada awal Abad pertengahan. Meskipun kota-kota Italia masih tetap dihuni orang, jumlah warganya sangat menyusut. Contohnya Roma yang jumlah warganya menyusut dari ratusan ribu jiwa menjadi sekitar 30.000 jiwa pada penghujung abad ke-6. Kuil-kuil Romawi dialihgunakan menjadi gedung-gedung Gereja, dan tembok-tembok kota masih tetap difungsikan seperti sediakala.[74] Di Eropa Utara, kota-kota juga mengalami penyusutan jumlah warga, sementara monumen-monumen dan bangunan-bangunan publik lainnya di kota-kota dijarah rayah untuk dijadikan bahan bangunan. Berdirinya kerajaan-kerajaan baru sering kali menyebabkan kota-kota yang dijadikan ibu kota mengalami sedikit banyak kemajuan.[75] Meskipun sudah sejak lama membentuk paguyuban-paguyuban di banyak kota Romawi, orang-orang Yahudi selama beberapa waktu menderita aniaya setelah Kekaisaran Romawi beralih keyakinan ke agama Kristen. Keberadaan orang-orang Yahudi secara resmi ditoleransi, jika bersedia didakwahi agama Kristen, bahkan adakalanya mereka dianjurkan untuk pindah dan menetap di daerah-daerah baru.[76]

Perluasan wilayah di bawah pimpinan Muhammad, 622–632

Perluasan wilayah pada zaman Khilafah Rasyidin, 632–661

Perluasan wilayah pada zaman Khilafah Bani Umayyah, 661–750

Agama dan kepercayaan di Kekaisaran Romawi Timur dan Persia senantiasa berubah-ubah pada penghujung abad ke-6 dan permulaan abad ke-7. Agama Yahudi adalah agama yang gencar menarik pemeluk baru, dan sekurang-kurangnya ada satu pemimpin politik Arab yang menjadi pemeluknya.[I] Agama Kristen aktif bersaing dengan agama Majusi dari Persia dalam menarik pemeluk baru, khususnya di kalangan penduduk Jazirah Arab. Semua perkembangan ini dihubungkan menjadi satu oleh kemunculan agama Islam di Arab pada masa hidup Muhammad (wafat 632).[78] Sesudah Muhammad wafat, bala tentara Muslim maju menaklukkan banyak tempat di wilayah Kekaisaran Romawi Timur dan Persia. Setelah mula-mula menaklukkan Negeri Syam pada 634–635, kaum Muslim kemudian menaklukkan Mesir pada 640–641, Persia antara 637–642, Afrika Utara pada abad ke-7, dan Jazirah Iberia pada 711.[79] Pada 714, bala tentara Muslim menguasai sebagian besar daratan Jazirah Iberia yang mereka namakan Al-Andalus.[80]

Aksi-aksi penaklukan kaum Muslim mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-8. Kekalahan bala tentara Muslim dalam Pertempuran Tours pada 732 memberi peluang kepada orang Franka untuk merebut kembali kawasan selatan Prancis, tetapi kendala utama yang membendung gerak langkah Islam di Eropa adalah tumbangnya Khilafah Bani Umayyah dan berkuasanya Khilafah Bani Abbas. Bani Abbas memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad dan lebih banyak mencurahkan perhatian ke kawasan Timur Tengah daripada ke Eropa, manakala kehilangan kedaulatan atas sejumlah daerah kekuasaan muslim. Keturunan Bani Umayah mengambil alih Jazirah Iberia, kaum Aglabi mendaulat Afrika Utara, dan kaum Tuluni mengangkangi Mesir.[81] Pada pertengahan abad ke-8, muncul tatanan niaga baru di Laut Tengah; hubungan niaga antara orang Franka dan orang Arab menggantikan tatanan perekonomian Romawi yang lama. Orang Franka menawarkan kayu, kulit bulu binatang, pedang, dan budak belian sebagai ganti sutra dan bahan-bahan sandang lainnya, rempah-rempah, serta logam-logam mulia dari orang Arab.[82]

Awal Abad Pertengahan

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.

Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.

Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.

Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.

Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.

Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.

Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.

Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.

Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.

Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.

Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.

Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.

Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.

Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.

Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.

Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.

Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.

Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.

Puncak Abad Pertengahan

Mata Uang Distandarisasi

Ketika Charlemagne menaklukan Eropa Barat, ia menyadari perlunya mata uang yang terstandarisasi. Bukan koin emas, pemerintahannya memiliki mata uang berupa koin perak yang dapat digunakan di seluruh kekaisaran.

Uang ini juga dikenal sebagai mata uang bersama pertama di Eropa sejak era Romawi. Sistemnya membagi satu pon perak murni Carolingian menjadi 240 keping. Bahkan Prancis diketahui mempertahankan versi dasar mata uang ini hingga Revolusi Prancis terjadi.

Terminologi dan periodisasi

Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.[1]

Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi beberapa kurun waktu, misalnya "Enam Zaman" atau "Empat Kekaisaran", dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat.[2] Bilamana mengulas zaman hidup mereka, maka zaman itu akan mereka sebut sebagai "zaman modern".[3] Pada dasawarsa 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).[4] Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan pembabakan tripartitus (pembabakan tiga penggal) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442).[5] Leonardo Bruni dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan oleh karena itu menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka. Istilah "Abad Pertengahan" pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan).[6] Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604,[7] dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625.[8] Istilah "Abad Pertengahan" adalah terjemahan dari frasa medium aevum.[9] pembabakan tripartitus menjadi pembabakan standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.[8]

Tarikh yang paling umum digunakan sebagai tarikh permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M,[10] yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni.[5][A] Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan,[12] akan tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung pada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.[13] Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan.[14] Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).[15] Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu "Tinggi" sebagai kurun waktu yang "terdahulu", dan kurun waktu "Rendah" sebagai kurun waktu yang "terkemudian". Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu "Awal", kurun waktu "Puncak", dan kurun waktu "Akhir".[1] Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki "Abad Kegelapan",[16][B] tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.[2]

Militer dan perkembangan teknologi

Perkembangan-perkembangan utama di bidang militer pada kurun waktu akhir Kekaisaran Romawi meliputi usaha untuk membentuk pasukan-pasukan aswasada yang tangguh, dan usaha berkelanjutan untuk membentuk berbagai macam pasukan khusus. Pembentukan satuan-satuan prajurit bersenjata berat jenis katafrak (berbaju zirah lengkap) menjadi pasukan-pasukan aswasada adalah salah satu hasil reka cipta militer Romawi yang penting pada abad ke-5. Bermacam-macam suku yang menginvasi wilayah Kekaisaran Romawi menonjolkan jenis prajurit andalan yang berbeda-beda, mulai dari pasukan pejalan kaki andalan orang Saksen-Inggris yang menginvasi Britania sampai dengan pasukan-pasukan aswasada yang merupakan bagian terbesar dari bala tentara orang Vandal dan orang Visigoth.[144] Pada permulaan kurun waktu invasi, sanggurdi belum dikenal dan digunakan untuk berperang, sehingga membatasi pendayagunaan pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas, karena penunggang tidak mungkin dapat mengayunkan senjata dengan kekuatan penuh sambil berkuda tanpa sanggurdi.[145] Perkembangan terbesar di bidang militer pada kurun waktu invasi adalah peralihan ke pemakaian busur rakitan khas Hun sebagai pengganti busur rakitan khas Skitia yang lebih lemah dan sebelumnya lazim digunakan.[146] Perkembangan lainnya adalah peningkatan pemakaian pedang panjang,[147] dan peralihan bertahap dari pemakaian zirah sisik ke pemakaian zirah rantai dan zirah keping.[148]

Pasukan pejalan kaki dan aswasada semakin kurang diandalkan pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling, seiring dengan kian diandalkannya pasukan aswasada khusus berperlengkapan berat. Pengerahan satuan-satuan wajib militer jenis milisi yang berasal dari warga berstatus merdeka (bukan budak belian) kian berkurang pada zaman Kekaisaran Karoling.[149] Meskipun terdiri atas sejumlah besar penunggang kuda, sebagian besar prajurit pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling adalah prajurit pejalan kaki yang menunggang kuda, bukan aswasada yang sesungguhnya.[150] Berbeda dari bala tentara Saksen-Inggris yang masih terdiri atas pasukan-pasukan wajib militer daerah yang disebut fyrd, di bawah pimpinan pembesar daerah masing-masing.[151] Salah satu perubahan utama di bidang teknologi militer adalah kemunculan kembali busur silang, yang sudah dikenal pada zaman Kekaisaran Romawi dan digunakan kembali sebagai senjata militer pada penghujung kurun waktu Awal Abad Pertengahan.[152] Perubahan lainnya adalah pengenalan sanggurdi, yang meningkatkan daya guna pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas. Salah satu kemajuan teknologi yang juga dirasakan manfaatnya di luar lingkungan militer adalah ladam, yang memungkinkan orang memacu kuda di medan berbatu.[153]

Masyarakat-masyarakat baru

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai "invasi", pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran. Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi.[41] Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau orang-orang yang sama sekali tidak berdarah Romawi. Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Kawin campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dengan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi.[42] Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.[43] Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi.[44] Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan pada tradisi-tradisi intelektual Romawi.[45] Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan.[46] Perang menjadi hal yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.[47][F]

Antara abad ke-5 dan abad ke-8, suku-suku bangsa dan tokoh-tokoh baru mengisi kekosongan politik selepas tumbangnya pemerintahan terpusat bangsa Romawi.[45] Orang Ostrogoth, salah satu suku Goth, menetap di Italia Romawi pada penghujung abad ke-5, di bawah pimpinan Teodorik Agung (wafat 526). Orang Ostrogoth mendirikan sebuah kerajaan di daerah itu dan hidup rukun bersama orang-orang Italia, setidaknya sampai masa pemerintahan Teodorik berakhir.[49] Orang-orang Burgundi menetap di Galia, dan setelah kerajaannya dibinasakan oleh orang Hun pada 436, mereka mendirikan sebuah kerajaan baru pada dasawarsa 440-an. Kerajaan di daerah yang kini berada di antara kota Jenewa dan kota Lyon ini berkembang menjadi Kerajaan Burgundia pada penghujung abad ke-5 dan permulaan abad ke-6.[50] Daerah-daerah lain di Galia diduduki oleh orang Franka dan orang Briton Kelt yang mendirikan kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Franka berpusat di kawasan utara Galia, dan raja pertamanya diketahui bernama Kilderik (wafat 481). Di makam Kilderik yang ditemukan kembali pada 1653, didapati barang-barang bekal kubur yang menakjubkan, yakni senjata-senjata dan sejumlah besar emas.[51]

Pada masa pemerintahan putra Kilderik, Klovis I (memerintah 509–511), pendiri wangsa Meroving, Kerajaan Franka meluaskan wilayahnya dan menerima agama Kristen. Orang Briton, yang masih berkerabat dengan pribumi Pulau Pretanī (bahasa Latin: Britannia) – Pulau Britania Raya sekarang ini – menetap di daerah yang sekarang disebut Bretagne.[52][G] Orang Visigoth mendirikan kerajaan di Jazirah Iberia, orang Suevi mendirikan kerajaan di kawasan barat laut Iberia, dan orang Vandal mendirikan kerajaan di Afrika Utara.[50] Pada abad ke-6, orang Lombardi menetap di Italia Utara, menggantikan Kerajaan Ostrogoth dengan sekelompok kadipaten yang sesekali memilih seorang raja untuk memerintah semuanya. Pada akhir abad ke-6, tatanan pemerintahan ini tergantikan oleh sebuah monarki yang bersifat tetap, yakni Kerajaan Orang Lombardi.[53]

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan. Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad. Bahasa Yunani masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Romawi Timur, akan tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.[54]

Perang, bencana kelaparan, dan wabah penyakit

Tahun-tahun permulaan abad ke-14 ditandai oleh bencana-bencana kelaparan, yang memuncak pada Bencana Kelaparan Besar 1315–1317.[258] Salah satu penyebab Bencana Kelaparan Besar ini adalah transisi peralihan yang berlangsung lambat dari Periode Suhu Hangat Abad Pertengahan ke Zaman Es Kecil, sehingga masyarakat rentan tertimpa bencana kelaparan bilamana cuaca memburuk dan mengakibatkan gagal panen.[259] Kurun waktu 1313–1314 dan 1317–1321 adalah kurun waktu turunnya hujan deras di seluruh Eropa, yang mengakibatkan gagal panen di mana-mana.[260] Perubahan iklim—yang mengakibatkan penurunan suhu tahunan rata-rata di Eropa pada abad ke-14—terjadi bersamaan dengan merosotnya perekonomian.[261]

Segala kemelut ini disusul pada 1347 oleh malapetaka Maut Hitam, wabah penyakit menular yang berjangkit ke seluruh pelosok Eropa dalam tiga tahun berikutnya.[262][AB] Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 35 juta jiwa di Eropa, yakni sekitar sepertiga dari keseluruhan populasi Eropa. Dampak dari wabah ini lebih terasa di kota-kota karena tingkat kepadatan penduduknya yang lebih tinggi.[AC] Kelangkaan populasi mengakibatkan tanah-tanah yang luas hanya didiami segelintir orang, dan ladang-ladang menjadi terbengkalai di beberapa tempat. Upah meningkat karena para tuan tanah berusaha memikat tenaga kerja yang sudah menyusut jumlahnya itu agar bersedia menggarap lahan-lahan mereka. Masalah selanjutnya adalah menurunnya sewa tanah dan merosotnya permintaan akan bahan pangan, yang memangkas jumlah pendapatan dari sektor pertanian. Kaum buruh di kota-kota juga mulai merasa patut diberi upah yang lebih besar, dan pemberontakan rakyat merebak di seluruh Eropa,[265] antara lain pemberontakan jacquerie di Prancis, pemberontakan kaum tani di Inggris, pemberontakan di kota Firenze di Italia, serta pemberontakan di kota Gent dan kota Brugge di Flandria. Trauma yang ditimbulkan oleh wabah ini menyebabkan kesalehan masyarakat meningkat di seluruh Eropa, yang diwujudkan melalui pembentukan lembaga-lembaga amal yang baru, praktik bermatiraga kaum Flagelan, dan tindakan mengambinghitamkan umat Yahudi.[266] Keadaan kian runyam ketika Maut Hitam kembali berjangkit sepanjang sisa kurun waktu abad ke-14; wabah ini masih terus menghantam Eropa secara berkala sepanjang sisa kurun waktu Abad Pertengahan.[262]

Akhir Abad Pertengahan

Teknologi dan militer

Pada abad ke-12 dan ke-13, Eropa berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan inovasi-inovasi terkait metode produksi. Kemajuan-kemajuan besar di bidang teknologi mencakup reka cipta kincir angin, pembuatan jam-jam mekanik yang pertama, usaha penyulingan minuman keras, dan penggunaan astrolab.[229] Kacamata berlensa cekung diciptakan sekitar tahun 1286 oleh seorang pengrajin Italia yang tidak diketahui namanya. Pengrajin ini mungkin membuka usaha kriyanya di kota Pisa atau di daerah sekitar kota itu.[230]

Rekayasa sistem rotasi tiga lahan untuk budi daya tanaman[157][Z] memperbesar tingkat pemanfaatan lahan dalam setahun dari setengah luas lahan berdasarkan sistem rotasi dua lahan yang lama menjadi dua pertiga luas lahan berdasarkan sistem yang baru, sehingga produksi pangan juga meningkat.[231] Pengembangan luku berat memungkinkan tanah yang lebih padat dapat digarap secara efisien, didukung oleh meluasnya pemakaian kerah kuda yang menyebabkan pemanfaatan tenaga lembu sebagai penghela beban tergantikan oleh tenaga kuda. Kuda lebih gesit daripada lembu dan tidak perlu digembalakan di padang yang luas, sehingga turut mendukung penerapan sistem rotasi tiga lahan.[232]

Pembangunan katedral-katedral dan puri-puri memajukan teknologi pendirian bangunan, sehingga memungkinkan pembangunan gedung-gedung batu berukuran besar. Bangunan-bangunan penunjang yang didirikan kala itu mencakup balai-balai kota, rumah-rumah, jembatan-jembatan, dan lumbung-lumbung perpuluhan.[233] Pembuatan kapal semakin berkembang berkat penggunaan metode pemasangan papan lambung pada gading-gading sebagai ganti sistem sambungan purus peninggalan Romawi. Kemajuan lain di bidang perkapalan adalah pemakaian layar sabang dan kemudi cawat yang meningkatkan laju pergerakan kapal layar.[234]

Di bidang kemiliteran, pengerahan prajurit pejalan kaki dalam satuan-satuan tugas khusus semakin meningkat. Selain barisan aswasada berperlengkapan berat yang masih merupakan pasukan terbesar, angkatan bersenjata juga mengikutsertakan pasukan pemanah busur silang berkuda, pasukan pemanah busur silang pejalan kaki, pasukan penggali parit, dan pasukan perekayasa.[235] Pemanfaatan busur silang, yang sudah dikenal sejak Akhir Abad Kuno, semakin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah semakin seringnya pengepungan dilakukan dalam peperangan pada abad ke-10 dan ke-11.[152][AA] Meningkatnya pemanfaatan busur silang pada abad ke-12 dan ke-13 mendorong pembuatan dan pemanfaatan ketopong berpenutup muka, baju zirah berat yang menutupi sekujur tubuh, dan zirah khusus untuk kuda.[237] Bubuk mesiu dikenal di Eropa pada pertengahan abad ke-13, terbukti dari catatan sejarah yang meriwatkan pemanfaatannya dalam peperangan di Eropa, yakni dalam peperangan antara Inggris dan Skotlandia pada 1304, meskipun hanya sebagai bahan peledak, bukan sebagai obat meriam. Meriam digunakan dalam aksi-aksi pengepungan pada dasawarsa 1320-an, dan senjata api genggam digunakan pada dasawarsa 1360-an.[238]